Eksistensi Kaum Sarungan: Bertahan ditengah Perubahan Zaman
Dewasa ini kita dihadapkan kepada sebuah realita yang terkadang dapat menjadi awal dari sebuah pertentangan. Kehidupan yang terus berputar memaksa kita untuk terus beradaptasi seperti sekarang ini.
Sudah menjadi konsumsi publik apabila hari ini kita menemukan banyak sekali masyarakat, lebih cocok untuk kaum urban, yang mempelajari suatu hal atau bahkan ranah keilmuan secara otodidak. Kemajuan teknologi mutakhir yang selalu digaungkan kaum urban menjadi salah satu alasannya. Selain itu, terdapat kompleksitas waktu yang dirasakan oleh kaum urban sehingga rasa-rasanya tidak sempat untuk belajar suatu disiplin ilmu kepada para ahlinya.
Ada satu kisah yang menggambarkan bertapa bias nya mempelajari suatu hal tanpa didampingi dengan ahlinya. Saat itu, ada beberapa mahasiswa Fakultas Teknik yang sedang melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di salah satu perusahaan mesin terbesar di Indonesia. Saat itu, sebut saja ‘perusahaan lancar jaya’ sedang mendapatkan tender dari salah satu BUMN yang bergerak dibidang pelayaran angkutan umum. Singkat cerita para mahasiswa tersebut bertemu dengan teknisi yang sudah sepuh, tentu dengan pakaian yang penuh oli, dan hanya lulusan Sekolah Teknik Menengan (STM)
“Menurut apa yang saya pelajari melalui mbah google, komponen mesin merupakan suatu mesin yang saling terhubung”, ucap si mahasiswa
“Ya, memang betul demikian”, timpal si teknisi sepuh
“kalau begitu, izinkan saya memperbaiki dinamo itu, Pak. Saat semester tiga lalu, saya sudah diberi pemahanan tentang kelistrikan oleh dosen saya. Ya, walaupun saat itu lebih banyak tugas individunya dibandingkan penjelasannya”, “Oalah silahkan, Mas. Apa perlu saya dampingi?”,
“tidak perlu, Pak. Melalui artikel yang saya baca, sepertinya saya sudah mampu untuk menyelasaikan hal ini sendiri”, “Wah bagus kalau begitu. Silahkan …”
Setelah dua jam proses perbaikan dinamo tersebut, si mahasiswa nampaknya masih kesulitan. Berbagai cara yang telah ia dapatkan melalui belajar otodidak rupanya belum mampu menyelasaikan trouble tersebut.
“Sepertinya dinamo ini sudah tidak bisa digunakan lagi, Pak”, ucap si mahasiswa
“sudah kamu periksa semua komponen perkabelannya?”, sambut si teknisi sepuh
“sudah dong! Saya yakin tidak salah karena memang semua sudah ada rumus nya”, “yasudah saya coba lihat dulu yah”,
Tak butuh waktu lama, terhitung kisaran 15 menit saja, teknisi sepuh tersebut mampu memperbaiki dinamo yang rusak tadi. Disambut dengan itu, ia hanya berucap “Ilmu dan pengalaman sudah menjadi satu paket yang tak boleh terpisahkan. Ketika seseorang mahir dalam suatu disipliin ilmu tetapi nihil dalam pengalaman, maka dapat diibaratkan seperti sebuah gelas yang tidak ada isinya.”
Menjadi hal yang menarik dalam kurun waktu tiga tahun terakhir adalah bermunculannya fenomena para pendakwah yang memanfaatkan media sosial sebagai alat ‘transportasinya’. Penulis beranggapan tidak ada yang salah dalam hal ini. Memang sudah semestinya media sosial di isi oleh konten-konten yang positif, membangun solidaritas masyarakat dan upaya baru dalam menanamkan cinta tanah air.
Lain teori lain praktek. Fenomena ustad-ustad baru yang timbul beberapa waktu terakhir ini menjadi sebuah pergumulan muslim pada saat ini. Sanad keilmuan yang masih patut dipertanyakan seringkali tak di-indahkan karena kemampuan merangkai kata-kata yang mampu mempesona para hadirin. Kehadiran fenomena baru ini dapat menimbulkan sebuah diskursus yang patut diteliti kembali oleh para ahli, yang tentunya harus melalui kaidah-kaidah ilmiah yang berlaku.
Menjadi seorang pendakwah tidaklah mudah. Dalam kalangan warga Nahdliyin, seseorang yang layak mendapatkan imbuhan Ustad atau Kyai harus melalui berbagai fase kehidupan yang digodok dalam lingkungan pondok pesantren. Mengapa harus pesantren? Mengapa tidak sekolah formal? Bukan maksud penulis untuk menurunkan derajat sekolah formal, akan tetapi dalam hal ilmu agama, kita bisa bersepakat bahwa konsentrasi pengajaran di lingkungan pesantren lebih unggul dalam metode-metodenya. Sehingga dalam masyarakat di perkampungan, apa yang disebut sebagai ustad atau kyai adalah seseorang yang telah mengenyam pendidikan pesantren minimal sejak ia usia anak-anak.
Keberadaan peran vital lembaga pesantren dalam menciptakan para ustad dan kyai yang mempuni adalah suatu hal yang telah diwariskan secara turun-temurun, dan sudah tentu dari segi sanad keilmuannya pun tidak usah diragukan lagi.
Berbanding terbalik dengan beberapa orang yang dijuluki ustad hanya karena mampu membawakan sebuah ayat suci Al-Quran dan beberapa potongan hadis Imam Bukhori dan Imam Muslim dengan pembawaan kosa kata yang ciamik dan mempesona. Para hadirin, khususnya masyarakat urban yang disibukan dengan rutinitasnya, tentu cukup terbantu dengan adanya dakwah via media sosial ini.
Namun, yang menjadi kekhawatiran kita saat ini adalah telah terjadinya pergeseran corak syiar yang telah dilakukan oleh para sepuh bin sepuh, ulama lan kyai yang telah mengakar kuat dalam tradisi dan budaya masyarakat. para ulama dan kyai terdahulu menanamkan dengan teguh bahwa dakwah haruslah dibawakan dengan lemah lembut, riang gembira, dan sopan santun. Atau malah kita mesti ingat betul bahwa dakwah yang baik adalah dakwah yang memadukan dengan budaya setempat. Ini lah yang dilakukan oleh para Walisongo kala itu.
Saat ini kita tidak jarang menemukan beberapa orang yang dianggap ustad dengan mudahnya menggunjing seseorang, mencaci maki seseorang, menyalahkan orang yang berbeda pendapat dengannya, atau bahkan mengkafir-kafirkan orang lain tanpa sebab yang jelas. Konsep dakwah yang terkesan ‘keras’ ini bukanlah dakwah yang ideal dalam lingkup sosial-budaya masyarakat Indonesia. Mempelajari agama dengan cara seperti itu hanya akan membawa kita mengenali agama islam dalam ruang lingkup yang sempit dan kaku.
Kita harus menyadari betul bahwa beragama haruslah bergembira. Apabila tuntunan yang bersumber dari kitab suci justru mengajarkan kita kepada rasa amarah yang mudah menghampiri, sifat iri dengki yang datang setiap hari, hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi kesalahan penilaian dalam proses pembalajaran agama.
Jangan sampai perintah amal maruf nahi munkar menjadi tameng dalam melakukan penghakiman kepada suadara sebangsa dan setanah air. Konsep rahmatan lil alamin yang telah diajarkan oleh para ulama dan kyai kita harus terus dilestarikan ke seantero negeri. Sudah saatnya para santri lulusan pesantren menunjukan kembali eksistensinya sebagai penopang kesatuan dan persatuan NKRI yang majemuk ini.
Sejatinya, islam tidaklah kaku. Sejatinya, beragama islam tidak melulu dilihat dari tampilan jubah dan sorban yang besar. Pada hakikatnya penataan hati dan perilaku yang berakhlak merupakan kunci dari mempelajari agama. Setiap keputusan, perbuatan, dan tindakan harus ajeg terhadap perintah agama yang bersifat menuntun dan memandu ke arah kehidupan yang abadi. Mari kita ikuti dawuh kyai, dawuh ulama, dawuh habaib yang memposisikan dirinya sebagai sebuah mata air yang mampu menjernihkan hati dan pikiran kita.
Lantas, muncul pertanyaan, sosok seperti apa yang pantas kita anggap sebagai ustad dan kyai? Dalam hal ini kaum sarungan harus mampu menunjukkan eksistensinya!